RSS

asuhan keperawatan ikterus


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  latar Belakang
Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir (BBL). Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi cukup bulan dan 75 % pada bayi kurang bulan.
Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terjadi peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kern ikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR, hipoksia, dan hipoglikemia.
Perawatan Ikterus berbeda diantara negara tertentu, tempat pelayanan tertentu dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengelolaan pada BBL, seperti pemberian makanan dini, kondisi ruang perawatan, penggunaan beberapa propilaksi pada ibu dan bayi, fototherapi dan transfusi pengganti. Asuhan keperawatan pada klien selama post partum juga terlalu singkat, sehingga klien dan keluarga harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi tempat rujukan, cara merawat bayi dan dirinya sendiri selama di rumah sakit dan perawatan di rumah.
Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan mempunyai peranan dalam memberikan asuhan keperawatan secara paripurna.

1.2  Rumusan masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada ikterus?

1.3  Tujuan penulisan
Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien ikterus?
Tujuan Khusus
1.    Untuk mengetahui definisi dari ikterus
2.    Untuk mengetahui etiologi dari ikterus
3.    Untuk mengetahui manifestasi klinis dari ikterus
4.    Untuk mengetahui patofisiologi dari ikterus
5.    Untuk mengetahui diagnosa dari ikterus

1.4  Manfaat
Manfaat Teoritis :
Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang penyakit ikterus, tata pelaksanaan, dan asuhan keperawatan pada pasien ikterus.
Manfaat Praktis :
Dapat dijadikan literatur perpustakaan untuk mata kuliah keperawatan dewasa IV.








BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan. Atau  bisa juga Ikterus adalah akumulasi abnormal pigmen bilirubin dalarn darah yang menyebabkan air seni berwarna gelap, warna tinja menjadi pucat dan perubahan warna kulit menjadi kekuningan. Ikterus merupakan kondisi berubahnya jaringan menjadi berwarna kuning akibat deposisi bilirubin. Ikterus paling mudah dilihat pada, sklera mata karena elastin pada sklera mengikat bilirubin.
Ikterus harus dibedakan dengan karotenemia yaitu warna kulit kekuningan yang disebabkan asupan berlebihan buah-buahan berwarna kuning yang mengandung pigmen lipokrom, misalnya wortel, pepaya dan jeruk. Pada karotemia warna kuning terutama tampak pada telapak tangan dan kaki disamping kulit lainnya. Sklera pada karotemia tidak kuning. Istilah ikterus dapat dikacaukan dengan kolestasis yang umumnya disertai ikterus. Definisi kolestasis adalah hambatan aliran empedu normal normal untuk mencapai duodenum. Kolestatasis ini dulu sering dinamakan jaundice obstruktif.
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan kalau ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34 sampai 43 uniol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenamya sudah mencapai angka 7 mg%.
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik.
Jaundice (berasal dari bahasa Perancis ‘jaune’ artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut.

2.1.1 Klasifikasi Hiperbilirubin
Hiperbilirubinemia sendiri dikelompokkan dalam dua bentuk berdasarkan penyebabnya yaitu hiperbilirubinemia retensi yang disebabkan oleh produksi yang berlebih (bilirubin indirek meningkat) dan hiperbilirubinemia regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin kedalam darah karena adanya obstruksi bilier (bilirubin direknya juga meningkat dan produksi sterkobilinogen menurun).
Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada kasus-kasus haemolisis berat dan gangguan konjugasi. Hati mempunyai kapasitas mengkonjugasikan dan mengekskresikan lebih dari 3000 mg bilirubin perharinya sedangkan produksi normal bilirubin hanya 300 mg perhari. Hal ini menunjukkan kapasitas hati yang sangat besar dimana bila pemecahan heme meningkat, hati masih akan mampu meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut. Akan tetapi lisisnya eritrosit secara massive misalnya anemia hemolitik pada kasus sickle cell anemia ataupun malaria akan menyebabkan produksi bilirubin lebih cepat dari kemampuan hati mengkonjugasinya sehingga akan terdapat peningkatan bilirubin tak larut didalam darah (indirek). Peninggian kadar bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi didalam urine sehingga disebut juga dengan ikterus acholuria. Pada neonatus terutama yang lahir premature peningkatan bilirubin tak larut terjadi biasanya fisiologis dan sementara, dikarenakan haemolisis cepat dalam proses penggantian hemoglobin fetal ke hemoglobin dewasa dan juga oleh karena hepar belum matur, dimana aktivitas glukoronosiltransferase masih rendah. Jika ada dugaan ikterus hemolitik perlu dipastikan dengan pemeriksaan kadar bilirubin total, bilirubin indirek, darah rutin, serologi virus hepatitis.
Apabila peningkatan bilirubin tak larut ini melampaui kemampuan albumin mengikat kuat, bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia pada otak dan menyebabkan ensephalopaty toksik yang disebut sebagai kern ikterus (ikterus neonatorum pathologis yang ditandai peningkatan bilirubin direk dan pemecahan eritrosit). Beberapa kelainan penyebab hiperbilirubinemia retensi diantaranya seperti Syndroma Crigler Najjar I yang merupakan gangguan konjugasi karena glukoronil transferase tidak aktif, diturunkan secara autosomal resesif, merupakan kasus yang jarang, dimana didapati konsentrasi bilirubin mencapai lebih dari 20 mg/dl. Syndroma Crigler Najjar II, merupakan kasus yang lebih ringan dari tipe I, karena kerusakan pada isoform glukoronil transferase II, didapati bilirubin monoglukoronida terdapat dalam getah empedu. Syndroma Gilbert, terjadi karena haemolisis bersama dengan penurunan bilirubin oleh hepatosit dan penurunan aktivitas enzym konjugasi dan diturunkan secara autosomal dominan.
Hiperbilirubinemia regurgitasi paling sering terjadi karena terdapatnya obstruksi saluran empedu, misalnya karena tumor caput pankreas (ditandai Couvisier’s Law), batu, proses peradangan dan sikatrik. Sumbatan pada duktus hepatikus dan duktus koledokus akan menghalangi masuknya bilirubin keusus dan peninggian konsentrasinya pada hati menyebabkan refluks bilirubin larut ke vena hepatika dan pembuluh limfe. Bentuknya yang larut menyebabkan bilirubin ini dapat terdeteksi dalam urine dan disebut sebagai ikterus choluria. Karena terjadinya akibat sumbatan pada saluran empedu disebut juga sebagai ikterus kolestatik. Pada kasus ini didapatkan peningkatan bilirubin direk, bilirubin indirek, zat yang larut dalam empedu serta batu empedu. Jadi pada ikterus obstruktif ini perlu dibuktikan dengan pemeriksaan kadar bilirubin serum, bilirubin urin, urobilin urin, USG, alkali fosfatase.
Beberapa kelainan lain yang menyebabkan hiperbilirubinemia regurgitasi adalah :
1.      Syndroma Dubin Johnson, diturunkan secara autosomal resesif, terjadi karena adanya defek pada sekresi bilirubin terkonjugasi dan estrogen ke sistem empedu yang penyebab pastinya belum diketahui. 
2.      Syndroma Rotor, terjadi karena adanya defek pada transport anion an organik termasuk bilirubin, dengan gambaran histologi hati normal, penyebab pastinya juga belum dapat diketahui.
3.      Hiperbilirubinemia toksik adalah gangguan fungsi hati karena toksin seperti chloroform, arsfenamin, asetaminofen, carbon tetrachlorida, virus, jamur dan juga akibat sirosis. Kelainan ini sering terjadi bersama dengan terdapatnya obstruksi. Gangguan konjugasi muncul besama dengan gangguan ekskresi bilirubin dan menyebabkan peningkatan kedua jenis bilirubin baik yang larut maupun yang tidak larut. Terapi phenobarbital dapat menginduksi proses konjugasi dan ekskresi bilirubin dan menjadi preparat yang menolong pada kasus ikterik neonatus tapi tidak pada sindroma Crigler najjar.
4.      Bilirubinometer Transkutan Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa. Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.

2.2 Etiologi
Ikterus merupakan suatu keadaan dimana terjadi penimbunan pigmen empedu pada tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi kuning, terutama pada jaringan tubuh yang banyak mengandung serabut elastin sperti aorta dan sklera (Maclachlan dan Cullen di dalam Carlton dan McGavin 1995). Warna kuning ini disebabkan adanya akumulasi bilirubin pada proses (hiperbilirubinemia). Adanya ikterus yang mengenai hampir seluruh organ tubuh menunjukkan terjadinya gangguan sekresi bilirubin. Berdasarkan penyebabnya, ikterus dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Ikterus pre-hepatik
Ikterus jenis ini terjadi karena adanya kerusakan RBC atau intravaskular hemolisis, misalnya pada kasus anemia hemolitik menyebabkan terjadinya pembentukan bilirubin yang berlebih. Hemolisis dapat disebabkan oleh parasit darah, contoh: Babesia sp., dan Anaplasma sp. Menurut Price dan Wilson (2002), bilirubin yang tidak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air sehingga tidak diekskresikan dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria tetapi terjadi peningkatan urobilinogen. Hal ini menyebabkan warna urin dan feses menjadi gelap. Ikterus yang disebabkan oleh hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bersifat ringan dan berwarna kuning pucat. Contoh kasus pada anjing adalah kejadian Leptospirosis oleh infeksi Leptospira grippotyphosa.
2. Ikterus Hepatik
Ikterus jenis ini terjadi di dalam hati karena penurunan pengambilan dan konjugasi oleh hepatosit sehingga gagal membentuk bilirubin terkonjugasi. Kegagalan tersebut disebabkan rusaknya sel-sel hepatosit, hepatitis akut atau kronis dan pemakaian obat yang berpengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel hati. Gangguan konjugasi bilirubin dapat disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase sebagai katalisator (Price dan Wilson 2002).
3. Ikterus Post-Hepatik
Mekanisme terjadinya ikterus post hepatik adalah terjadinya penurunan sekresi bilirubin terkonjugasi sehinga mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi bersifat larut di dalam air, sehingga diekskresikan ke dalam urin (bilirubinuria) melalui ginjal, tetapi urobilinogen menjadi berkurang sehingga warna feses terlihat pucat. Faktor penyebab gangguan sekresi bilirubin dapat berupa faktor fungsional maupun obstruksi duktus choledocus yang disebabkan oleh cholelithiasis, infestasi parasit, tumor hati, dan inflamasi yang mengakibatkan fibrosis.
Migrasi larva cacing melewati hati umum terjadi pada hewan domestik. Larva nematoda yang melewati hati dapat menyebabkan inflamasi dan hepatocellular necrosis (nekrosa sel hati). Bekas infeksi ini kemudian diganti dengan jaringan ikat fibrosa (jaringan parut) yang sering terjadi pada kapsula hati. Cacing yang telah dewasa berpindah pada duktus empedu dan menyebabkan cholangitis atau cholangiohepatitis yang akan  berdampak pada penyumbatan/obstruksi duktus empedu. Contoh nematoda yang menyerang hati anjing adalah Capillaria hepatica. Cacing cestoda yang berhabitat pada sistem hepatobiliary anjing antara lain Taenia hydatigena dan Echinococcus granulosus. Cacing trematoda yang berhabitat di duktus empedu anjing meliputi Dicrocoelium dendriticum, Ophisthorcis tenuicollis, Pseudamphistomum truncatum, Methorcis conjunctus, M. albidus, Parametorchis complexus, dan lain-lain (Maclachlan dan Cullen di dalam Carlton dan McGavin 1995).

Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
  1. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
  2. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam
  3. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis)
  4. Ikterus yang disertai oleh:
    • Berat lahir <2000 gram
    • Masa gestasi 36 minggu
    • Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
    • Infeksi
    • Trauma lahir pada kepala
    • Hipoglikemia, hiperkarbia
    • Hiperosmolaritas darah
  5. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14 hari (pada NKB)
2.3 Klasifikasi ikterus
2.3.4 Berdasarkan Penyebab Kuning
Gejala kuning pada yang dikenal sebagai ikterus dibagi 3 golongan berdasarkan penyebab kuningnya tersebut.
1.      Ikterus hemolitik, ikterus yang timbul karena meningkatnya penghancuran sel darah merah. Misal pada keadaan infeksi (sepsis), ketidak cocokan gol darah ibu dengan golongan darah bayi, bayi yang baru lahir (ikterus fisiologik) dsb.
2.      Ikterus parenkimatosa, ikterus yang terjadi akibat kerusakan atau peradangan jaringan hati, misal pada penyakit hepatitis.
3.      Ikterus obstruktif, ikterus yang timbul akibat adanya bendungan yang mengganggu aliran empedu. Misal pada tumor, kelainan bawaan (atresia bilier), batu pada kandung empedu dsb.

2.3.5 Ikterus Fisiologis
a.       Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
b.      Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan.
c.       Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d.      Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e.       Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
2.3.6        Ikterus Patologik
1.      Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
a.       Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
b.      Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
c.       Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
d.      Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
e.       Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
2.      Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama dengan penyebab :
a.       Inkomtabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
b.      Infeksi intra uterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)
c.       Kadang oleh defisiensi G-6-PO
3.      Ikterus yang timbul 24 – 72 jam setelah lahir dengan penyebab:
a.       Biasanya ikteruk fisiologis
b.      Masih ada kemungkinan inkompatibitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5mg% /24 jam
c.       Polisitemia
d.      Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan sub oiponeurosis, perdarahan hepar sub kapsuler dan lain-lain)
e.       Dehidrasis asidosis
f.       Defisiensi enzim eritrosis lainnya
4.      Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu pertama dengan penyebab:
a.       Biasanya karena infeksi (sepsis)
b.      Dehidrasi asidosis
c.       Defisiensi enzim G-6-PD
d.      Pengaruh obat
e.       Sindrom gilber
5.      Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya dengan penyebab :
a.       biasanya karena obstruksi
b.      hipotiroidime
c.       hipo breast milk jaundice
d.      infeksi
e.       neonatal hepatitis
f.       galaktosemia

Terjadi kernikterus, yaitu kerusakan pada otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah didasar ventrikel IV.
Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, RM, hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang melengking. Ngastiyah, (1997)(Suriadi,2001).

2.4 Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
Ikterus fisiologis Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonjugasi < 2 mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konjugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

2.4 Gejala dan tanda klinis
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
1.      Dehidrasi
Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
2.      Pucat
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.
3.      Trauma lahir
Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.
4.      Pletorik (penumpukan darah)
Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK.
5.      Letargik dan gejala sepsis lainnya
6.      Petekiae (bintik merah di kulit)
Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis.
7.      Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati.
8.      Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9.      Omfalitis (peradangan umbilikus)
10.  Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11.  Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12.  Feses dempul disertai urin warna coklat
Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien.
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin.

2.5 Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
·         Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
·         Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
·         Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)
2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan  morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil).
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.    Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.

3.      Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.

Ikterus hepatoseluler
Ikterus pasca hepatik (bendungan saluran empedu)
Ikterus prehepatik
WOC

Bendungan di  dalam hati
Bilirubin darah mengadakan regurgitasi ke dlm sel hati
Peninggian bilirubin konjugasi direk
Bilirubin direk (larut dalam air) meningkat
Hemoglobin
Konjungkasi bilirubin terganggu
Kerusakan hati
Hemolisis meningkat
Bilirubin tidak terkonjugasi  meningkat
Masuk ke peredaran darah, masuk ke ginjal
Suplai bilirubin melebihi kemampuan hepar
Bilirubin mengalami regurgitasi ke dalam sel hati
Peninggian kadar bilirubin konjugasi di dlm aliran darah
Hiperbilirubinemia
Hepar tidak mampu melakukan konjugasi
Ikterus pada leher, badan
MK: Kerusakan integritas kulit
MK: Kekurangan volume cairan
MK: Hipertermia
Sinar dengan intensitas tinggi
Indikasi fototerapi
Anorexia
MK:nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
 












































BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses keperawatan yang meliputi Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi.

3.1 Pengkajian
1.      Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2.      Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui yang lemah, Iritabilitas.
3.      Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4.      Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)

3.2 Diagnosa Keperawatan , Tujuan , dan Intervensi
Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang memberi gambaran keadaan kesehatan klien dan memungkinkan menyusun perencanaan asuhan keperawatan. Masalah yang diidentifikasi ditetapkan sebagai diagnosa keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang diperoleh.
1.         Diagnosa Keperawatan : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare
       Tujuan : Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan
       Intervensi : Kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek , rubah posisi setiap 2 jam, masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.
2.         Diagnosa Keperawatan : Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan
3.         Intervensi : Beri suhu lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5° - 37°C, cek tanda-tanda vital tiap 2 jamDiagnosa Keperawatan : Kurangnya volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.
Tujuan : Cairan tubuh neonatus adekuat
Intervensi : Catat jumlah dan kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output, beri air diantara menyusui atau memberi botol..
4.         Diagnosa keperawatan : nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah
Tujuan :
menunjukkan status gizi : asupan makanan, cairan, dan zat gizi, ditandai dengan indikator berikut ( sebutkan nilainya 1-5 : tidak adekuat, ringan, sedang, kuat atau adekuat total ).
Intervensi :
Pengelolaan gangguian makan :pencegahan dan penanganan pembatasan diet yang berat dan aktivitas berlebih atau makan dalam jumlah banyak dalam satu waktu dan mencahar makanan dan cairan.
Pengelolaan nutrisi : bantuan atau pemberian asupan diet makanan dan cairan yang seimbang.
Bantuan menaikkan berat badan : fasilitasi pencapaian kenaikkan berat badan.
5.         Diagnosa Keperawatan : Gangguan parenting berhubungan dengan pemisahan
Tujuan : Orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi : Bawa bayi ke ibu untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk stimulasi sosial dengan ibu, anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya, libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua mengekspresikan perasaannya.
6.         Diagnosa Keperawatan : Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejalagejala untuk menyampaikan pada tim kesehatan
Intervensi : Kaji pengetahuan keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah.
7.         Diagnosa Keperawatan : Risiko tinggi trauma berhubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi
Intervensi : Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengankain yang dapat memantulkan cahaya; usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir; matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam; buka penutup mata setiap akan disusukan; ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.
8.         Diagnosa Keperawatan : Risiko tinggi trauma berhubungan dengan tranfusi tukar
Tujuan : Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi : Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan; basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan, pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar; pantau tandatanda vital; selama dan sesudah tranfusi; siapkan suction bila diperlukan; amati adanya ganguan cairan dan elektrolit; apnoe, bradikardi, kejang; monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program.
3.3  Analisa Data
No
Analisa Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
1.       
Do:
·         Rusaknya jaringan kornea, membran mukosa, integumen atau sub kutan.
Ds : -
Hiperbilirubinemia


Ikterus pada
leher, badan


Kerusakan integritas kulit

Kerusakan integritas kulit.
2.       
Do :
·         Kulit memerah
·         Suhu tubuh meningkat
·         Frekuensi pernapasan meningkat
·         Takikardi
·         Kejang
Ds :
·         Pasien mengatakan mual

Hiperbilirubinemia


Indikasi fototerapi


Sinar dengan intensitas


Hipertermia

hipertermia
3.       
Do :
·         Suhu tubuh meningkat.
·         Tekanan darah menurun.
·         Membran mukosa kering.
·         Konsentrasi urin meningkat.
·         Penurunan pengisian vena.
Ds :
·         Pasien mengatakan haus
Hiperbilirubinemia


Indikasi fototerapi


Sinar dengan intensitas




Kekurangan volume cairan


Kekurangan volume cairan
4.       
Do :
·         Diare
·         Tidak tertarik untuk makan
·         Tonus otot buruk
·         Bising usus hiperaktif
Ds :
·         Pasien mengatakan nyeri perut
Hipertermia


Anorexia


nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

3.4  Intervensi
No.
Diagnosa
Keperawatan
Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1.
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare

Tujuan:
Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan

Kriteria Hasil:
Warna kulit normal
Kulit bersih dan lembab

1.      Kaji warna kulit tiap 8 jam
2.      Pantau bilirubin direk dan indirek
3.      Rubah posisi setiap 2 jam
4.      Masase daerah yang menonjol
5.      Jaga kebersihan kulit dan

1.     Memantau terjadinya perubahan warna kulit
2.     Memantau kadar bilirubin
3.     Mencegah terjadinya penekanan pada kulit
4.     Meningkatkan sirkulasi darah

2.
Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek fototerapi

Tujuan:
Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan

Kriteria Hasil:
Ttv normal
Akral hangat
1.      Beri suhu lingkungan yang netral
2.      Pertahankan suhu antara 35,5° - 37°C
3.      Cek tanda-tanda vital tiap 2 jam
1.        Menjaga kestabilan suhu tubuh
2.        Mempertahankan  suhu normal
3.        Memantau terjadinya penurunan/peningkatan suhu tubuh
3.
Kurangnya volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, dan diare.

Tujuan:
Cairan tubuh adekuat

Kriteria Hasil:
Ttv normal
Turgor kulit <2detik
1.      Catat jumlah dan kualitas feses
2.      Pantau turgor kulit
3.      Pantau intake output
4.      Beri air diantara menyusui atau memberi botol
1.    Memantau tanda adanya dehidrasi
2.    Memantau intake output
3.    Menambah intake cairan
4.
Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan reflek hisap menurun
Tujuan:
Kebutuhan nutrisi terpenuhi.

Kriteria Hasil:
BB normal
Intake adekuat

1.      Berikan minum melalui sonde (ASI/ PASI)
2.      Lakukan oral hygiene dan olesi mulut dengan kapas basah
3.      Monitor intake dan output BB
4.      Observasi tugor dan membran mukosa

1.      Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
2.     Meningkatkan nafsu makan
3.     Memantau intake serta output











DAFTAR PUSTAKA

Bobak, J. (1985). Materity and Gynecologic Care. Precenton.

Cloherty, P. John (1981). Manual of Neonatal Care. USA.

Harper. (1994). Biokimia. EGC, Jakarta.

Hazinki, M.F. (1984). Nursing Care of Critically Ill Child. , The Mosby Compani
CV, Toronto.

Markum, H. (1991). Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. FKUI, Jakarta.

Mayers, M. et. al. ( 1995). Clinical Care Plans Pediatric Nursing. Mc.Graw-Hill.
Inc., New York.

Pritchard, J. A. et. al. (1991). Obstetri Williams. Edisi XVII. Airlangga UniversityPress,Surabaya.

Susan, R. J. et. al. (1988). Child Health Nursing. California,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Ijin kopas buat materi referat ya dok
Hihihi

Unknown mengatakan...

Terimakasih untuk artikelnya, informasi yang bermanfaat.

http://obattraditional.com/obat-tradisional-batu-empedu/

nunung fitri mengatakan...

semoga bermanfaat
Cara-Mengobati-luka-Diabetes-Secara-Alami-Cepat-Dan-Aman
Pengobatan-tradisional-luka-diabetes-dengan-cepat
Cara-Mengatasi-Kesemutan-dikaki-tangan-akibat-penyakit-diabetes
Pengobatan-Alami-kista-bartholin-Pada-Wanita-Tanpa-operasi

Posting Komentar

Buku Tamu