BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Inkontinensia
urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering
terjadi pada wanita yang pernah
melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga
disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita
inkontinensia telah menderita desensus
dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai
penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine
yang baik.
Angka
kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di
Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan
berat gangguan meningkat dengan
bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan
kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat
sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan
kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20%
pada wanita dengan 5 anak.
Pada
wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya
urine semata-mata karena batuk, bersin
dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan,
dimana didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya
sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya.
Jenis inkontinensia ini dikenal karena
gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai
penyebab inkontinensia stres, dapat
menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan
desakan secara bersamaan.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan
keperawatan pada pasien dengan inkontinensia urine ?
1.3
Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menjelaskan
asuhan keperawatan pada pasien dengan inkontinensia urine.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Untuk menjelaskan definisi dari inkontinensia
urine.
2.
Untuk menjelaskan klasifikasi dari
inkontinensia urine.
3.
Untuk menjelaskan etiologi dari
inkontinensia urine.
4.
Untuk
menjelaskan patofisiologi dari inkontinensia urine.
5.
Untuk
menjelaskan manifestasi klinis dari inkontinensia urine.
6.
Untuk
menjelaskan komplikasi dari inkontinensia urine.
7.
Untuk
menjelaskan pemeriksaan diagnosis dari inkontinensia
urine.
8.
Untuk
menjelaskan penatalaksanaan medis dari inkontinensia
urine.
9.
Untuk
menjelaskan prognosis dari inkontinensia urine.
1.4
Manfaat Penulisan
1.4.1
Manfaat
Teoritis
Sebagai
referensi bagi mahasiswa keperawatan untuk menambah pengetahuan.
1.4.2
Manfaat
Praktis
Sebagai panduan untuk melaksanakan praktik keperawatan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pada orang dewasa sehat,
kerja kandung kemih dapat dibagi dalam dua fase; fase pengisian, dengan kandung
kemih berfungsi sebagai reservoar urine yang masuk secara berangsur-angsur dari
ureter, dan fase miksi dengan kandung kemih befungsi sebagai pompa serta
menuangkan urine melalui uretra dalam waktu relatif singkat.
Pada keadaan normal
selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih
penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti sewaktu batuk,
meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar
keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi
kebocoran di luar kesadaran.
Pada fase pengosongan,
isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat
atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi
kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase
pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung
kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya
otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang.
Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam
kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi
pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine
memancar keluar.
Ada semacam kerjasama
antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun
sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik
ke dalam ureter (refluks).
Inkontinensia urine
adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering terjadi
pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan
(nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul.
Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan
vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan
prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Pada wanita umumnya
inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya urine
semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan
adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak.
Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil
penderita telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena
gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan
anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan
inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara
bersamaan.
2.2 Klasifikasi
Terdapat beberapa macam
klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya dibahas beberapa jenis yang
paling sering ditemukan yaitu :
1.
Inkontinensia stres (Stres
Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh
lemahnya mekanisme penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu
batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah
berbaring atau duduk. Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam
abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat
melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif
perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus
sering menganti pakaian dalam dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi
berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang diperlukan setiap hari
merupakan ukuran kegawatan
keluhan inkontinensia ini.
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan
kandung kemih. Pada pemeriksaan vulvaternyata bahwa sewaktu mengejan dapat
dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan
percobaan MarshallMarchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai
habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih.
Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung
kemih dengan air sampai penderita merasaingin berkemih. Dengan demikian
ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml. Kemudian
dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta
penderita batuk. Jika pada posisi berbaringt idakterjadi pengeluaran urine,
maka percobaan diulang pada posisi berdiri dengantungkai dijauhkan satu sama
lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada
saat ini. Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding depan vagina
kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel hilang.
Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine terhenti maka ini
menunjukkan penderita akan dapatdisembuhkan dengan operasi kelainan yang
dideritanya. Pemeriksaan ini dapat ditambah dengan sistometri,sistoskopi serta
kalibrasi pada uretra untuk menyingkirkan kemungkinan stenosis.
Pada foto rontgen lateral atas sistogram miksi bisa tampak sudut
terbelakang vesikouretra membesar sampai 1800 atau lebih. Normalnya sudut ini
sekitar 1200. Gambaranini menegaskan adanya sistokel pada pemeriksaan badan.
Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada wanita merupakan masalah
interdisipliner antara urologi dan ginekologi. Di sini pengambilan keputusan
yang tepat setidak-tidaknya sama penting seperti mutu pengobatan. Sering
terdapat kelainan ginekologis yang juga harus diobati. Kebanyakan diagnostik
yang tepat ditegakkan dari kerjasama yang baik antara urolog dan ginekolog.
Pada inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4 pembalut
sehari, penderita bisa memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan senam untuk
otot-otot dasar panggul. Pada prinsipnya pengobatan inkontinensia stres
bersifat operatif. Dikenal berbagai teknik bedah yang semuanya dapat memberikan
perbaikan 80-90 kasus. Semua bentuk operasi ini berlandaskan pada prinsip yang
sama yaitu menarik dinding vagina ke arah ventral untuk menghilangkan sistokel
dan mengembalikan sudut vesiko-uretral menjadi 1200 seperti semula. Ini dapat
terlaksana dengan menjahitkan dinding vagina pada periosteum tulang pubis
(teknikMarshall-Marchetti); dengan mengikatkan dinding vagina lebih lateral
pada lig. Pouparti (teknikBurch); atau dengan bedah ‘sling’, menarik uretra ke
atas memakai selembar fasia atau bahan yang tidak dapat diresorpsi serta
diikatkan pada fasia abdominalis.
Biasanya keluhan stres dan desakan bercampur aduk. Dalam keadaan seperti
ini, sangat penting diagnostik yang cermat yang juga meliputi sistometri dan
pengukuran aliran. Apabila inkontinensia desakan dengan atau tanpa pembentukan
sisa urine diobati dengan salah satu bedah plastik suspensi di atas, maka pola
keluhan semula dapat lebih mengikat.
Komplikasi terapi bedah
inkontinensia stres terutama terdiri dari pembentukan sisa urine segera dalam
fase pascabedah.Biasanya masalah ini bersifat sementara dan dapat diatasi
dengan kateterisasi intermiten, dengan karakter yang ditinggalkan atau lebih
baik dengan drainase kandung kemih suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian
pembentukan sisa urine tanpa kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal
dari indikasi yang salah. Perforasi kandung kemih dengan kebocoran urine,
infeksi saluran kemih yang berkepanjangan dan osteitis pubis pada operasiMarshall-Marchetti-Krantz
merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
2.
Inkontinensia desakan (Urgency
Inkontinence)
Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine
secara involunter dihubungkan dengan
keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi). Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu
pengisian, otot detusor berkontraksi
tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung
kemih dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak stabil.Biasanya
kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu
urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan
didapatkan pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan inkontinensia karena mekanisme
distal masih dapat memelihara inkontinensia pada keadaan kontraksi yang tidak
stabil. Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi
motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi
sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan
dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan
infeksi pada vagina dan serviks.Burnett , menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada
susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada
sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis
interstisial. Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik
lebih sering dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa
dan antikolinegrik. Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.
3.
Inkontinensia luapan (Overflow
Incontinence)
Inkontinensia
luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan intravesikal
melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi kandung kemih
tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh
akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih
dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya urine
menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes. Penyebab
kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera vertebra,
sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma kapitis,
serta tumor otak dan medula spinalis.
Corak
atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat berbeda, tergantung
pada tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara kandung kemih dan uretra
berdasarkan refleks miksi, yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral
medula spinalis.Baik otot kandung kemih maupun otot polos dan otot lurik pada
uretra dihubungkan dengan pusat miksi.
Otot
lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting mekanisme
penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari pusat yang
lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di dalam
pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan kandung
kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari.
Refleks miksi juga dipengaruhi
melalui pleksus pelvikus oleh persarafan simpatis dari ganglion. Pada lesi,
terjadi dua jenis gangguan fungsi kandung kemih yaitu :
ü Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada
lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya lengkung refleks terjadi
kelumpuhan flasid pada kandung kemih dan dasar panggul. Sehingga miksi
sebenarnya lenyap.
ü Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi
terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral dan lengkung refleks
yang tetap utuh, maka hilangnya pengaruh pusat yang lebih atas terhadap pusat
miksi.Miksi sakral menghilangkan kesadaran atas keadaan kandung kemih. Terjadi
refleks kontraksi kandung kemih yang terarah kepada miksi yang otomatis tetapi
tidak efisien karena tidak ada koordinasi dari pusat yang lebih atas. Sering
kontraksi otot dasar panggul bersamaan waktunya dengan otot kandung kemih
sehingga miksi yang baik terhalang. Juga kontraksi otot kandung kemih tidak
lengkap sehingga kandung kemih benar-benar dapat dikosongkan.
Terdapat beberapa macamtes untuk
memeriksa aktifitas refleks pada segmen sakral medula spinalis. Bila ada
aktifitas sakral, mungkinlesi jenis
supranuklear.
ü Refleks anus
Kulit di
dekat anus dirangsang dengan sebuah jarum. Kontraksi pada sfingter anus bagian
luar membuktikan bahwa refleksini ada. Jari yang dimasukan di dalam rektum
merasakan bahwa sfinger anus menegang.
ü Refleks bulbokavernosus
Sewaktu
klitoris dipijit pada pemeriksaan rektal terjadi kontraksi otot bulbo dan
iskiokavernosus.
ü Refleks ketok abdomen
Ketokan
pada dinding perut diatas simfisis menyebabkan tegangnya sfingter ani. Ini
dapat diraba dengan jari didalam rektrum.
ü Tes air es
Kandung
kemih dikosongkan dengan kateter, lalu diisi 60-90 ml air es. Jika dalam waktu
satu menit kateter beserta air es tertekan keluar lagi, terbukti adanya
gangguan fungi kandung kemih jenis supranuklear.
4.
Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada
waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi,
dekapitasi, atau ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari
sesudah partus lama, yang disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama
pada jaringan jalan lahir di tulang pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan
iskemia dan kematian jaringan di jalan lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi
plastik pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya
dapat menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis
ialah dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam rongga vesika. Akan tampak
metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan operasi melalui
vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi kecil. Bila ditemukan
fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa hari pascah bedah, maka penanganannya
harus ditunda tiga bulan.Bila jaringan sekitar fistula sudah tenang dan normal
kembali operasi baru dapat dilakukan.
2.3 Etiologi
Jenis inkontinensia dibedakan berdasarkan awal mula timbulnya
inkontinensia, apakah baru terjadi dan secara tiba-tiba atau timbul secara
bertahap dan menetap.Penyebab yang paling sering ditemukan adalah infeksi
kandung kemih (sistitis). Penyebab lainnya adalah:
ü Efek samping obat
ü Penyakit yang mempengaruhi pergerakan atau menyebabkan linglung
ü Asupan minuman yang mengandung kafein atau alkohol berlebihan
ü
Keadaan yang menyebabkan
iritasi kandung kemih atau uretra (misalnya vaginitis atropik
atausembelit yang berat).
Inkontinensia menahun bisa terjadi akibat:
ü Perubahan di dalam otak
ü Perubahan di dalam kandung kemih atau uretra
ü Kelainan saraf yang menuju atau berasal dari kandung kemih.
Perubahan-perubahan ini terutama sering ditemui pada usia lanjut dan
wanita pasca menopause.
Tabel
1.1
Jenis
|
Penyebab
|
Inkontinensia desakan
|
Ø Infeksi saluran kemih.
Ø Kandung kemih yg terlalu aktif.
Ø Penyumbatan aliran kemih.
Ø Batu & tumor kandung empedu.
Ø Obat, terutama diuretic.
|
Inkontinensiakarena stres
|
Ø Kelemahan pada sfingter (otot yang mengendalikan aliran kemih dari
kandung kemih).
Ø Pada wanita,berkurangnya tahanan terhadap aliran kemih melalui
uretra, biasanya karena kekurangan estrogen.
Ø Perubahan anatomis yang disebabkan oleh melahirkan banyak anak
atau pembedahan panggul.
Ø Pada pria, pengangkatan prostat atau cedera pada bagian atas
uretra atau leher kandung kemih.
|
Inkontinensia aliran berlebih
|
Ø Penyumbatan aliran air kemih, biasanya disebabkanoleh pembesaran atau
kanker prostat (pada pria) dan karena penyempitan uretra(pada anak-anak).
Ø Kelemahan otot kandung kemih.
Ø Kelainan fungsi saraf.
Ø Obat-obatan.
|
Inkontinensia total : kebocoran berkesinambungan karena spingter
tidak menutup
|
Ø Cacat bawaan
Ø Cedera pada leher kandung kemih (misalnya karena pembedahan)
|
Inkontinensia psikogenik : Hilangnya pengendalian karena kelainan
psikis
|
Ø Gangguan emosional (misalnya depresi)
|
Inkontinensia campuran : Gabungan dari berbagai keadaan diatas
Banyak wanita yang mengalami inkontinensia campuran antara stress
& desakan
|
Ø Gabungan dari berbagai penyebab diatas
|
2.4 Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit
infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan
abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada
spinal cord trauma atau bersifattemporer pada wanita hamil dengan struktur
dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine.
Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia,
kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
1.1
Latar Belakang
Inkontinensia
urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering
terjadi pada wanita yang pernah
melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga
disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita
inkontinensia telah menderita desensus
dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai
penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine
yang baik.
Angka
kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di
Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan
berat gangguan meningkat dengan
bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan
kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat
sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan
kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20%
pada wanita dengan 5 anak.
Pada
wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya
urine semata-mata karena batuk, bersin
dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan,
dimana didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya
sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya.
Jenis inkontinensia ini dikenal karena
gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai
penyebab inkontinensia stres, dapat
menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan
desakan secara bersamaan.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan
keperawatan pada pasien dengan inkontinensia urine ?
1.3
Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menjelaskan
asuhan keperawatan pada pasien dengan inkontinensia urine.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Untuk menjelaskan definisi dari inkontinensia
urine.
2.
Untuk menjelaskan klasifikasi dari
inkontinensia urine.
3.
Untuk menjelaskan etiologi dari
inkontinensia urine.
4.
Untuk
menjelaskan patofisiologi dari inkontinensia urine.
5.
Untuk
menjelaskan manifestasi klinis dari inkontinensia urine.
6.
Untuk
menjelaskan komplikasi dari inkontinensia urine.
7.
Untuk
menjelaskan pemeriksaan diagnosis dari inkontinensia
urine.
8.
Untuk
menjelaskan penatalaksanaan medis dari inkontinensia
urine.
9.
Untuk
menjelaskan prognosis dari inkontinensia urine.
1.4
Manfaat Penulisan
1.4.1
Manfaat
Teoritis
Sebagai
referensi bagi mahasiswa keperawatan untuk menambah pengetahuan.
1.4.2
Manfaat
Praktis
Sebagai panduan untuk melaksanakan praktik keperawatan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pada orang dewasa sehat,
kerja kandung kemih dapat dibagi dalam dua fase; fase pengisian, dengan kandung
kemih berfungsi sebagai reservoar urine yang masuk secara berangsur-angsur dari
ureter, dan fase miksi dengan kandung kemih befungsi sebagai pompa serta
menuangkan urine melalui uretra dalam waktu relatif singkat.
Pada keadaan normal
selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih
penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti sewaktu batuk,
meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar
keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi
kebocoran di luar kesadaran.
Pada fase pengosongan,
isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat
atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi
kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase
pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung
kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya
otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang.
Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam
kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi
pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine
memancar keluar.
Ada semacam kerjasama
antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun
sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik
ke dalam ureter (refluks).
Inkontinensia urine
adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering terjadi
pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan
(nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul.
Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan
vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan
prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Pada wanita umumnya
inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya urine
semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan
adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak.
Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil
penderita telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena
gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan
anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan
inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara
bersamaan.
2.2 Klasifikasi
Terdapat beberapa macam
klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya dibahas beberapa jenis yang
paling sering ditemukan yaitu :
1.
Inkontinensia stres (Stres
Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh
lemahnya mekanisme penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu
batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah
berbaring atau duduk. Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam
abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat
melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif
perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus
sering menganti pakaian dalam dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi
berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang diperlukan setiap hari
merupakan ukuran kegawatan
keluhan inkontinensia ini.
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan
kandung kemih. Pada pemeriksaan vulvaternyata bahwa sewaktu mengejan dapat
dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan
percobaan MarshallMarchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai
habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih.
Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung
kemih dengan air sampai penderita merasaingin berkemih. Dengan demikian
ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml. Kemudian
dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta
penderita batuk. Jika pada posisi berbaringt idakterjadi pengeluaran urine,
maka percobaan diulang pada posisi berdiri dengantungkai dijauhkan satu sama
lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada
saat ini. Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding depan vagina
kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel hilang.
Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine terhenti maka ini
menunjukkan penderita akan dapatdisembuhkan dengan operasi kelainan yang
dideritanya. Pemeriksaan ini dapat ditambah dengan sistometri,sistoskopi serta
kalibrasi pada uretra untuk menyingkirkan kemungkinan stenosis.
Pada foto rontgen lateral atas sistogram miksi bisa tampak sudut
terbelakang vesikouretra membesar sampai 1800 atau lebih. Normalnya sudut ini
sekitar 1200. Gambaranini menegaskan adanya sistokel pada pemeriksaan badan.
Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada wanita merupakan masalah
interdisipliner antara urologi dan ginekologi. Di sini pengambilan keputusan
yang tepat setidak-tidaknya sama penting seperti mutu pengobatan. Sering
terdapat kelainan ginekologis yang juga harus diobati. Kebanyakan diagnostik
yang tepat ditegakkan dari kerjasama yang baik antara urolog dan ginekolog.
Pada inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4 pembalut
sehari, penderita bisa memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan senam untuk
otot-otot dasar panggul. Pada prinsipnya pengobatan inkontinensia stres
bersifat operatif. Dikenal berbagai teknik bedah yang semuanya dapat memberikan
perbaikan 80-90 kasus. Semua bentuk operasi ini berlandaskan pada prinsip yang
sama yaitu menarik dinding vagina ke arah ventral untuk menghilangkan sistokel
dan mengembalikan sudut vesiko-uretral menjadi 1200 seperti semula. Ini dapat
terlaksana dengan menjahitkan dinding vagina pada periosteum tulang pubis
(teknikMarshall-Marchetti); dengan mengikatkan dinding vagina lebih lateral
pada lig. Pouparti (teknikBurch); atau dengan bedah ‘sling’, menarik uretra ke
atas memakai selembar fasia atau bahan yang tidak dapat diresorpsi serta
diikatkan pada fasia abdominalis.
Biasanya keluhan stres dan desakan bercampur aduk. Dalam keadaan seperti
ini, sangat penting diagnostik yang cermat yang juga meliputi sistometri dan
pengukuran aliran. Apabila inkontinensia desakan dengan atau tanpa pembentukan
sisa urine diobati dengan salah satu bedah plastik suspensi di atas, maka pola
keluhan semula dapat lebih mengikat.
Komplikasi terapi bedah
inkontinensia stres terutama terdiri dari pembentukan sisa urine segera dalam
fase pascabedah.Biasanya masalah ini bersifat sementara dan dapat diatasi
dengan kateterisasi intermiten, dengan karakter yang ditinggalkan atau lebih
baik dengan drainase kandung kemih suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian
pembentukan sisa urine tanpa kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal
dari indikasi yang salah. Perforasi kandung kemih dengan kebocoran urine,
infeksi saluran kemih yang berkepanjangan dan osteitis pubis pada operasiMarshall-Marchetti-Krantz
merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
2.
Inkontinensia desakan (Urgency
Inkontinence)
Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine
secara involunter dihubungkan dengan
keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi). Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu
pengisian, otot detusor berkontraksi
tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung
kemih dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak stabil.Biasanya
kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu
urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan
didapatkan pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan inkontinensia karena mekanisme
distal masih dapat memelihara inkontinensia pada keadaan kontraksi yang tidak
stabil. Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi
motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi
sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan
dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan
infeksi pada vagina dan serviks.Burnett , menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada
susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada
sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis
interstisial. Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik
lebih sering dihubungkan dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa
dan antikolinegrik. Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.
3.
Inkontinensia luapan (Overflow
Incontinence)
Inkontinensia
luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan intravesikal
melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi kandung kemih
tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh
akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih
dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya urine
menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes. Penyebab
kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera vertebra,
sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma kapitis,
serta tumor otak dan medula spinalis.
Corak
atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat berbeda, tergantung
pada tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara kandung kemih dan uretra
berdasarkan refleks miksi, yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral
medula spinalis.Baik otot kandung kemih maupun otot polos dan otot lurik pada
uretra dihubungkan dengan pusat miksi.
Otot
lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting mekanisme
penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari pusat yang
lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di dalam
pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan kandung
kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari.
Refleks miksi juga dipengaruhi
melalui pleksus pelvikus oleh persarafan simpatis dari ganglion. Pada lesi,
terjadi dua jenis gangguan fungsi kandung kemih yaitu :
ü Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada
lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya lengkung refleks terjadi
kelumpuhan flasid pada kandung kemih dan dasar panggul. Sehingga miksi
sebenarnya lenyap.
ü Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi
terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral dan lengkung refleks
yang tetap utuh, maka hilangnya pengaruh pusat yang lebih atas terhadap pusat
miksi.Miksi sakral menghilangkan kesadaran atas keadaan kandung kemih. Terjadi
refleks kontraksi kandung kemih yang terarah kepada miksi yang otomatis tetapi
tidak efisien karena tidak ada koordinasi dari pusat yang lebih atas. Sering
kontraksi otot dasar panggul bersamaan waktunya dengan otot kandung kemih
sehingga miksi yang baik terhalang. Juga kontraksi otot kandung kemih tidak
lengkap sehingga kandung kemih benar-benar dapat dikosongkan.
Terdapat beberapa macamtes untuk
memeriksa aktifitas refleks pada segmen sakral medula spinalis. Bila ada
aktifitas sakral, mungkinlesi jenis
supranuklear.
ü Refleks anus
Kulit di
dekat anus dirangsang dengan sebuah jarum. Kontraksi pada sfingter anus bagian
luar membuktikan bahwa refleksini ada. Jari yang dimasukan di dalam rektum
merasakan bahwa sfinger anus menegang.
ü Refleks bulbokavernosus
Sewaktu
klitoris dipijit pada pemeriksaan rektal terjadi kontraksi otot bulbo dan
iskiokavernosus.
ü Refleks ketok abdomen
Ketokan
pada dinding perut diatas simfisis menyebabkan tegangnya sfingter ani. Ini
dapat diraba dengan jari didalam rektrum.
ü Tes air es
Kandung
kemih dikosongkan dengan kateter, lalu diisi 60-90 ml air es. Jika dalam waktu
satu menit kateter beserta air es tertekan keluar lagi, terbukti adanya
gangguan fungi kandung kemih jenis supranuklear.
4.
Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada
waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi,
dekapitasi, atau ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari
sesudah partus lama, yang disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama
pada jaringan jalan lahir di tulang pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan
iskemia dan kematian jaringan di jalan lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi
plastik pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya
dapat menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis
ialah dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam rongga vesika. Akan tampak
metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan operasi melalui
vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi kecil. Bila ditemukan
fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa hari pascah bedah, maka penanganannya
harus ditunda tiga bulan.Bila jaringan sekitar fistula sudah tenang dan normal
kembali operasi baru dapat dilakukan.
2.3 Etiologi
Jenis inkontinensia dibedakan berdasarkan awal mula timbulnya
inkontinensia, apakah baru terjadi dan secara tiba-tiba atau timbul secara
bertahap dan menetap.Penyebab yang paling sering ditemukan adalah infeksi
kandung kemih (sistitis). Penyebab lainnya adalah:
ü Efek samping obat
ü Penyakit yang mempengaruhi pergerakan atau menyebabkan linglung
ü Asupan minuman yang mengandung kafein atau alkohol berlebihan
ü
Keadaan yang menyebabkan
iritasi kandung kemih atau uretra (misalnya vaginitis atropik
atausembelit yang berat).
Inkontinensia menahun bisa terjadi akibat:
ü Perubahan di dalam otak
ü Perubahan di dalam kandung kemih atau uretra
ü Kelainan saraf yang menuju atau berasal dari kandung kemih.
Perubahan-perubahan ini terutama sering ditemui pada usia lanjut dan
wanita pasca menopause.
Tabel
1.1
Jenis
|
Penyebab
|
Inkontinensia desakan
|
Ø Infeksi saluran kemih.
Ø Kandung kemih yg terlalu aktif.
Ø Penyumbatan aliran kemih.
Ø Batu & tumor kandung empedu.
Ø Obat, terutama diuretic.
|
Inkontinensiakarena stres
|
Ø Kelemahan pada sfingter (otot yang mengendalikan aliran kemih dari
kandung kemih).
Ø Pada wanita,berkurangnya tahanan terhadap aliran kemih melalui
uretra, biasanya karena kekurangan estrogen.
Ø Perubahan anatomis yang disebabkan oleh melahirkan banyak anak
atau pembedahan panggul.
Ø Pada pria, pengangkatan prostat atau cedera pada bagian atas
uretra atau leher kandung kemih.
|
Inkontinensia aliran berlebih
|
Ø Penyumbatan aliran air kemih, biasanya disebabkanoleh pembesaran atau
kanker prostat (pada pria) dan karena penyempitan uretra(pada anak-anak).
Ø Kelemahan otot kandung kemih.
Ø Kelainan fungsi saraf.
Ø Obat-obatan.
|
Inkontinensia total : kebocoran berkesinambungan karena spingter
tidak menutup
|
Ø Cacat bawaan
Ø Cedera pada leher kandung kemih (misalnya karena pembedahan)
|
Inkontinensia psikogenik : Hilangnya pengendalian karena kelainan
psikis
|
Ø Gangguan emosional (misalnya depresi)
|
Inkontinensia campuran : Gabungan dari berbagai keadaan diatas
Banyak wanita yang mengalami inkontinensia campuran antara stress
& desakan
|
Ø Gabungan dari berbagai penyebab diatas
|
2.4 Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit
infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan
abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada
spinal cord trauma atau bersifattemporer pada wanita hamil dengan struktur
dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine.
Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia,
kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
ü Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan
sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
ü Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
ü Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia10 tahun
mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu
yan abnormal dan menunjukkan adanya kandung kemih yang tidak stabil.
ü Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria,
nokturia), obstruksi (pancaran lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan,
misalnya reseksi abdominoperineal), fistula (menetes terus menerus), penyakit
neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya
diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.
2.6
Komplikasi
ü Meningkatkan efek samping dari penggunaan obat-obatan
ü Meningkatkan peluang infeksi karena pajanan urin terus-menerus
ü Komplikasi bedah seperti perdarahan, kerusakan sekitar pembuluh
darah dan nervus.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine
adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal
tidak selalu diagnostik, tetapi informasi yang didapat akan menuntun klinisi dalm memilih test
diagnostik yang diperlukan. Pada umumnya keluhan penderita yaitu:
ü Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan.
ü Keluarnya kencing tidak dapat ditahan.
ü Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh.
Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen,
vaginal, pelvis, rektal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa
didapatkan distensi kandung kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia luapan,
dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa tampak prolaps genital,
sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina terutama pasca histerektomi
mungkin mengetahui adanya massa pelvis.
Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk
membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip (‘the cotton swab
test’), merupakan test sederhana untuk menunjukan adanya inkontinensia
stres sejati. Penderita disuruh
mengosongkan kandung kemihnya, urine ditampung. Kemudian spesimen urine diambil
dengan kateterisasi. Jumlah urine dari kencing dan kateter merupakan volume
kandung kemih. Volume residual menguatkan diagnosis inkontinensia luapan.
Spesimen urine dikirim ke laboratorium.
Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik
imaging. Sistourethroskopi dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa
anestesi, dapat dilihat keadaan patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun
divertikulum. Test urodinamik meliputi uroflowmetri dan sistometri. Sistometri
merupakan test yang paling penting, karena dapat menunjukan keadaan
kandung kemih yang hiperaktif, normal
maupun hipoaktif. Diagnostik imaging meliputi USG, CT scan dan IVP yang
digunakan untuk mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor) dan
kelainan anatomi (ureter ektopik).
Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu
‘Pessary Pad Test’. Penderita minum 500 ml air selama 15 menit untuk mengisi
kandung kemih. Setelah ½ jam, penderita melakukan latihan selama 45 menit
dengan cara : berdiri dari duduk (10 kali), batuk (10 kali), joging di tempat
(11 kali), mengambil benda dari lantai (5 kali), dan mencuci tangan dari air
mengalir selama 1 menit. Test positif bila berat Pad sama atau lebih besar dari
1g. Test ini dapat menunjukan adanya inkontinesia stres hanya bila tidak
didapatkan kandung kemih yang tidak stabil.
2.8 Penatalaksanaan
Beberapa langkah sederhana bisa dilakukan untuk merubah perilaku
penderita:
1. Teknik perubahan perilaku, misalnya membiasakan diri untuk berkemih
setiap 2-3 jamu untuk menjaga agar kandung kemih relatif kosong.
2. Menghindari minuman yang bisa menyebabkan iritasi kandung kemih,
misalnya minuman yang mengandung kafein.
3. Minum sebanyak 6-8 gelas/hari untuk mencegah pemekatan air kemih,
karena air kemihyang terlalu pekat bisa mengiritasi kandung kemih.
4. Menghentikan pemakaian obat-obatan yang bisa menimbulkan efek
samping pada kandung kemih.
Inkontinensia
total diatasi dengan berbagai prosedur pembedahan. Salah satunya adalah
mengganti sfingter yang tidak menutup sebagaimana mestinya dengan sfingter buatan.
Pengobatan
untuk inkontinensia psikogenik adalah psikoterapi yang biasanya dilakukan
bersamaan dengan perubahan perilaku dan pemakaian alat yang bisa membangunkan
anak ketikamulai mengompol atau obat untuk mencegah kontraksi kandung kemih.
Kepada penderita yang mengalami depresi bisa diberikan obat anti-depresi. Jika
inkontinensia tidak dapat sepenuhnya dikendalikan oleh berbagai pengobatan
spesifik diatas, maka untuk melindungi kulit serta memungkinkan penderita tetap
merasa kering, nyaman dan bisa melakukan kegiatan sosial, maka penderita bisa
menggunakan pembalut dan pakaian dalam khusus.
2.8.1 Penanganan
Konservatif
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi.
Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi
konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling
populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat
mekanis.
1. Latihan Otot Dasar Pinggul (‘Pelvic Floor Exercises’)
Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar
pelvis. Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul
membantu penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat
mengangkat sambungan urethrovesikal kedalam daerah yang ditransmisi tekanan
abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan
intraabdominal, perubahan posisi dan pengisian kandung kemih.
Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi
tekanan abdominal pada uretra proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan
tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra.
Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (‘bladder
training) telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah
upaya melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional
kandung kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal.
Langkah-langkah LKK(Latihan kandung kecing) :
ü Tentukan tipe kandung kemih neurogenik
ü Tiap waktu miksi dimulai dengan stimulasi :
Tipe UMN : Menepuk paha dalam, menarik
rambut daerah pubis, masukkan jari pada
rektum.
Tipe LMN : Metode Crade atau manuver valsava.
ü Kateterisasi : kateter menetap atau berkala.
2. Obat-obatan
a.
Alfa Adrenergik Agonis
Otot leher vesika dan uretha
proksimal megandung alfa adrenoseptor yang menghasilkan kontraksi otot polos
dan peningkatan tekanan penutupan urethra obat aktif agonis
alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini dengan efek samping relatif
ringan..
b. Efedrin
Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga
melepaskan noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif
pada inkotinensia stres. Efek samping menigkatkan tekanan darah, kecemasan dan
insomnia oleh karena stimulasi SSP.
c. Phenylpropanololamine
PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan efedrin, akan tetapi dengan
efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama obat influensa dalam
kombinasi dengan antihistamin dan anthikholinergik. Dosis 50 mg dua kali
sehari. Efek samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stres
mengalami perbaikan.
d. Estrogen
Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan
efek meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan estrogen
dosis tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah
tindakan bedah pada inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi
dan penyembuhan jaringan urogential, walaupun belum ada data yang akurat.
3. Stimulasi
Elektrik
Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin
digunakan selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan
kontraksi otot lurik uretra dan
parauretra dengan memakai implant/non-implant (anal atau vaginal) elektrode
untuk meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah
selama beberapa jam per hari selama
beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant, tapi
metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbiditas
karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator mini yang
digerakkan dengan baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan
dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring,
Hodge pessary, silindris.
4. Alat Mekanis
(‘Mechanical Devices’)
Ø Tampon : Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama
bila kebocoran hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan
terus menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka.
Ø Edward Spring : Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada
penderita dengan inkontinensia stres dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian
terjadi ulserasi vagina.
Ø Bonnas’s Device: Terbuat dari
bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat mengangkat sambungan
urethrovesikal dan urethra proksimal.
2.8.2 Penanganan Operatif
Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan
beberapa cara meliputi :
1. Kolporafi anterior.
2. Uretropeksi retropubik.
3. Prosedur jarum.
4. Prosedur sling pubovaginal.
5. Periuretral bulking agent.
6. Tension vaginal tape (TVT).
Tindakan operatif sangat membutuhkan
informed consent yang cermat dan baik pada penderita dan keluarganya
karena angka kegagalan maupun rekurensi tindakan ini tetap ada.
A. KOLPORAPHY ANTERIOR
Kolporaphy anterior apakah dilakukan sebagai prosedur yang terpisah
atau bersamaan dengan pembedahan ginekologi yang lain umumnya merupakan operasi
ginekologi. Operasi ini merupakan operasi definitif untuk mengkoreksi stes
inkontinensia. Bagaimanapun selama dua
dekade teknik operasi ini telah teruji secara cermat dan terbukti lebih
spesifik untuk menangani kasus ini.
Gambaran klasik telah
dipublikasikan oleh Kelly (1913). Teknik operasi termasuk penjahitan pada
robekan fascia dari uretra dan kandung kemih yang kemudian dimodifikasi oleh
Kennedy (1937). Selanjutnya sejumlah modifikasi minor telah dilakukan.
Melakukan kolporaphy
anterior memerlukan pemahaman tepat tentang anatomi dan fisiologi struktur
dasar panggul. Beberapa hal yang harus diidentifikasi adalah :
1. Mukosa vagina.
2. Peritoneum vesikouterina.
3. Fascia pubovesikalis-servikalis.
4. Uretrovesical junction.
5. Uretra.
6. Vena-vena pleksus uterovaginal.
2.9 Prognosis
ü Inkontinensia tekanan urin: pengobatan tidak begitu efektif. Pengobatan yang
efektif adalah dengan latihan otot (latihan Kegel) dan tindakan bedah.
Perbaikan dengan terapi alfa agonis hanya sebesar 17%-74%, tetapi perbaikan
dengan latihan Kegel bisa mencapai 87%-88%.
ü Inkontinensia urgensi: dari studi, menunjukkan bahwa latihan kandung kemih memberikan
perbaikan yang cukup signifikans (75%) dibandingkan dengan penggunaan obat
antikolinergik (44%). Pilihan terapi bedah sangat terbatas dan memiliki tingkat
morbiditas yang tinggi.
ü Inkontinensia luapan: terapi medikasi dan bedah sangat efektif untuk mengurangi gejala
inkontinensia.
ü Inkontinensia campuran: latihan kandung kemih dan latihan panggul memberikan hasil yang
lebih memuaskan dibandingkan penggunaan obat-obata antikolinergik.