RSS

asuhan keperawatan ensefalopati hepatik


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam mengatur metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting untuk kehidupan manusia seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa, sedangkan dalam proses katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon dan obat-obatan.

Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran normal darah splanknikus. Oleh karena itu terjadi kerusakan sel-sel parenkim hati akut maupun kronik yang berat, fungsi-fungsi tersebut akan mengalami gangguan atau kekacauan, sehingga dapat timbul kelainan seperti ensefalopati hepatikum (Akil., 1998).
Ensefalopati hepatik adalah sindrom yang ditemukan pada pasien dengan sirosis hati. Data kepustakaan tentang ensefalopati hepatikum di Indonesia ternyata masih sedikit. Diluar negeri kejadian ensefalopati hepatik subklinik berkisar antara 30 – 84%. Tanda-tanda samar ensefalopati hepatic ditemukan pada 70% pasien sirosis hati. Pada penelitian Morgan dan Strangen diketahui 18% dari 71 penderita sirosis hati memberikan tes psikometri normal, 48% memperlihatkan gambaran ensefalopati hepatic subklinik sedangkan 34% jelas tampak jelas dengan gejala dan tanda ensefalopati hepatik.
Di bagian penyakit dalam FKUI selama setahun ditemukan penderita sirosis hati 109 pasien, diantaranya dengan 55 pasien ensefalopati hepatik. Ensefalopati hepatik yang spontan didapatkan 13 pasien atau 37%, sedangkan pada 22 pasien diduga factor pencetus dari perdarahan saluran cerna13 pasien atau 37% , infeksi akut 6 pasien atau 17% , dan hipokolemi 3 pasien atau 9%. Ensefalopati hepatik stadium II ditemukan 9 pasien, stadium III 19 pasien dan stadium IV 7 pasien.
Beberapa penelitian yang menunjukan bahwa sirosis hati yang terlihat normal, ternyata 34-80% didapatkan ensefalopati hepatik ringan atau laten / subklinik. Hal ini dapat dideteksi dengan uji psikometrik, uji entelegensi, kemampuan konsentrasi dan EEG.

1.2  Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pasien dengan kasus ensefalopati hepatik?
1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        Tujuan umum
Untuk mengetahui tentang penyakit ensefalopati hepatik dan asuhan keperawatan secara teoritis.
1.3.2        Tujuan Khusus
a.            Untuk mengetahui definisi ensefalopati hepatik.
b.            Untuk mengetahui anatomi fisiologi ensefalopati hepatik.
c.            Untuk mengetahui klasifikasi ensefalopati hepatik.
d.           Untuk mengetahui etiologi ensefalopati hepatik.
e.            Untuk mengetahui manifestasi klinis ensefalo hepatik.
f.             Untuk mengetahui patofisiologi ensefalopati hepatik.
g.            Untuk mengetahui diagnosis ensefalopati hepatik.
h.            Untuk mengetahui penatalaksanaan ensefalopati hepatik.
i.              Untuk mengetahui pengobatan ensefalopati hepatik.
j.              Untuk mengetahui prognosis ensefalopati hepatik.
k.            Untuk mengetahui asuhan keperawatan ensefalopati hepatik.
1.4    Manfaat Penulisan
1.4.1        Bagi mahasiswa, makalah ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendalami konsep penyakit ensefalopati hepatik dan asuhan keperawatannya.
1.4.2        Bagi pembaca, pembaca dapat mengerti tentang konsep penyakit ensefalopati hepatik yang sesuai dengan standart kesehatan demi meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian yang lebih lanjut

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Berikut merupakan beberapa definisi menurut beberapa tokoh, diantaranya:
Ensefalopati Hepatik adalah suatu sindrom neuropsikiatri, mempunyai spektrum klinik yang luas, dapat timbul akibat penyakit hati yang berat, baik akut maupun yang menahun ditandai adanya gangguan tingkah laku, gejala neurologik, astriksis, berbagai derajat gangguan kesadaran sampai koma, dan kelainan elektro ensefalografi (Blei., 1999).
Ensefalopati Hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatrik yang terjadi pada penyakit hati. Definisi tersebut menyiratkan bahwa spektrum klinis ensefalopati hepatik sangat luas, karena di dalamnya juga termasuk pasien hepatitis fulminan serta pasien sirosis dalam stadium Ensefalopati Hepatik Subklinis (EHS) (Budihusodo., 2001).
Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin., 2001).
Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati (Stein 2001).
Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 1995).
Ensefalopati Hepatik adalah suatu sindrom neuropsikiatri sekunder karena penyakit hati akut (misal hepatitis fulminan akut, hepatitis toksik, dan perlemakan hati akut pada kehamilan) atau penyakit hati kronis (misal sirosis hati). Pada sirosis hati ensefalopati hepatic (EH) disebut juga ensefaloporto sistemik.
Ensefalopati Hepatik (koma hepatic) merupakan sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor yang disebut sebagai asteriksis. Perubahan mental diawali dengan perubahan kepribadian, hilang ingatan, dan iritabilitas yang dapat berlanjut hingga kematian akibat koma dalam. Ensefalopati Hepatik yang berakhir dengan koma adalah mekanisme kematian yang terjadi pada sepertiga kasus sirosis yang fatal.

2.2 Anatomi Fisiologi Hati
Hati adalah kelenjar terbesar di dalam tubuh, yang terletak di bagian teratas dalam rongga abdomen sebelah kanan di bawah diafragma. Hati secara luas dilindungi iga – iga. Hati terbagi dalam dua belahan utama, kanan dan kiri. Permukaan atas terbentuk cembung dan terletak di bawah diafragma. Permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan, fisura tranfersus. Permukaannya dilintasi berbagai pembuluh darah yang masuk keluar hati. Fisura longitudinal memisahkan belahan kanan dan kiri di permukaan bawah, sedangkan ligament falsiformis melakukan hal yang sama dipermukaan atas hati.
Selanjutnya hati dibagi- bagi dalam empat belahan (kanan, kiri, kaudata, dan kuadrata). Dan setiap belahan atau lobus terdiri atas lobules. Lobules ini berbentuk polyhedral (segibanyak) san terdiri atas sel hati berbentuk kubus, dan cabang – cabang pembuluh darah diikat bersama oleh jaringan hati. Hati mempunyai dua jenis persediaan darah, yaitu yang datang melalui arteri hepatika dan yang melalui vena porta.
Arteri hepatika yang keluar dari aorta dan memberikan seperlima darahnya kepada hati, darah yang mempunyai kejenuhan oksigen 95 sampai 100 persen. Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena mesenterika superior, menghantarkan empat perlima darahnya ke hati, darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70 persen sebab beberapa oksigen telah diambil limpa dan usus. Darah vena porta ini membawa kepada hati zat makanan yang telah diabsorbsi mukosa usus halus.
Vena hepatika mengembalikan darah dari hati ke vena cava inferior. Di dalam vena hepatika tidak terdapat katub. Saluran empedu terbentuk dari penyayatan kapiler- kapiler empedu yang mengumpulkan empedu dari sel hati. Maka terdapat empat pembuluh darah utama yang menjelajahi seluruh hati, dua yang masuk, yaitu arteri hepatika dan vena porta, dan dua yang keluar, yaitu vena hepatika dan saluran empedu.

2.3 Klasifikasi
 Klasifikasi ensefalopati hepatik yang banyak dianut adalah :
1) Menurut cara terjadinya
a. Ensefalopati hepatik tipe akut :
Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, sindroma reye atau dapat pula pada sirosis hati.
b. Ensefalopati hepatik tipe kronik :
Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah ensefalopati hepatik yang terjadi pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsur-angsur makin berat.
2) Menurut faktor etiologinya
a. Ensefalopati Hepatik Primer / Endogen
Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati yang difus nekrosis sel hati yang meluas. Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada sirosis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat.

b. Ensefalopati Hepatik Sekunder / Eksogen
Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah:
1. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah :
o Dehidrasi / hipovolemia
o Parasintesis abdomen
o Diuresis berlebihan
2. Pendarahan gastrointestinal
3. Operasi besar
4. Infeksi berat
5. Intake protein berlebihan
6. Konstipasi lama yang berlarut-larut
7. Obat – obat narkotik/ hipnotik
8. Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan
9. Azotemia

2.4 Etiologi
Bahan-bahan yang diserap kedalam aliran darah dari usus, akan melewati hati, dimana racun-racunnya dibuang pada ensefalopati hepatik, yang terjadi adalah:
a.                   Racun-racun ini tidak dibuang karena fungsi hati terganggu.
b.      Telah terbentuk hubungan antara sistem portal dan sirkulasi umum (sebagai akibat dari penyakit hati), sehingga racun tidak melewati hati.
c.       Pembedahan by pass untuk memperbaiki hipertensi portal (shunt system portal) juga akan menyebabkan beberapa racun tidak melewati hati.apapun penyebabnya, akibatnya adalah sampainya racun di otak dan mempengaruhi fungsi otak.
Bahan apa yang bersifat racun terhadap otak, secara pasti belum diketahui, tetapi tingginya kadar hasil pemecahan protein dalam darah,misalnya ammonia,tampaknya memegag peranan yang penting.
Pada penderita penyakit hati menahun, ensefalopati biasanya dipicu oleh:
a.       Infeksi akut.
b.      Pemakaian alkohol.
c.       Terlalu banyak makan protein, yang akan meningkatkan kadar hasil pemecahan protein dalam darah.
d.      Perdarahan pada saluran pencernaan, misalnya pada varises esofageal, juga bisa menyebabkan bertumpuknya hasil pemecahan protein, yang secara langsung bisa mengenai otak.
e.       Obat-obat tertentu, terutama obat tidur, obat pereda nyeri dan diuretic (azotemia, hipovolemia).
f.       Obstipasi meningkatkan produksi, absorbsi ammonia dan toksin nitrogen lainnya.
·         Faktor endogen (= primer), yaitu fungsi hati yang jelek, misalnya pada sirosis hepatik dengan child C
·         Faktor eksogen :
Ø  Diet protein tinggi yang berlebihan
Ø  Pendarahan saluran cerna yang massif
Ø  Sindrom dehidrasi hipokalemik, misalnya akibat parasintesis yang terlalu cepat dan pemakaian diuretika
Ø  Pengaruh obat-obatan (penenang, anastesi, atau narkotika)
Ø  Adanya katabolisme jaringan berlebih (infeksi yang berat)
Ø  Konstipasi
Ø  Pathogenesis terjadinya ensefalopati hepatik pada sirosis hepatik sebelum semuanya terungkap dengan jelas
Ø  Diduga banyak faktor yang berperan, diantaranya adalah peningkatan kadar amoniak darah dan adanya “neurotransmitter” palsu.

2.5 Manifestasi Klinis
Spektrum klinis ensefalopati hepatik sangat luas yang sama sekali asimtomatik hingga koma hepatik. Simptom yang acap kali dijumpai pada ensefalopati hepatik klinis antara lain perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfagia, dan rasa mengantuk disertai tanda klinis seperti asteriksis, iritabilitas, gelisah, dan kehilangan kesadaran (koma). Manifestasi klinis ensefalopati hepatik biasanya didahului oleh dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniaagenik seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif.
Manifestasi ensefalopati hepatik adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik. Gambaran klinik ensefalopati hepatik  sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini, penyebab, dan ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis, serta kelainan EEG (Electro Encephalogram), manifestasi neuropsikiatri pada EH dapat dibagi atas stadium. Di luar itu terdapat sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan EEG dan / atau psikometrik. Contoh uji piskometrik yang populer ialah NCT (Number Conection Test).
Kelompok inilah yang digolongkan sebagai ensefalopatia hepatik subklinis atau laten (EHS). Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar daripada ensefalopati hepatik klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh kasus sirosis hati dengan hipertensi portal (Budihusodo., 2001). Gejala dan tanda klinis ensefalopati hepatik dapat timbul sangat cepat dan berkembang menjadi koma bila terjadi gagal hati pada penderita hepatitis fulminan. Pada penderita sirosis, perkembangan berlangsung lebih lambat dan bila ditemukan pada stadium dini masih bersifat reversible. Perkembangan ensefalopati hepatik menjadi koma biasanya dibagi dalam 4 stadium.
Adapun stadium – stadium Ensefalopati hepatik menurut gejala klinis antara lain :
STADIUM
Gejala Klinis
Tanda-tanda Klinis dan Perubahan EEG
(Prodormal)
Tingkat kesadaran yang normal dengan periode letargi dan euphoria; terbaliknya pola tidur siang-malam
Asteriksis; gangguan menulis dan kemampuan membuat garis lurus. EEG normal. Tanda yang berbahaya adalah sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawatt baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, dan tidak mampu memusatkan pikiran. Penderita mungkin cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang ajar. Pemantauan yang saksama menunjukkan bahwa mereka lebih letargi atau tidur lebih lama dari biasa, atau irama tidurnya terbalik.
2
(Koma yang mengancam)
Peningkatan perasaan mengantuk; disorientasi; perilaku yang tidak sesuai; perubahan emosi; agitasi
Asteriksis; felor hepatikus. EEG yang abnormal dengan pelambatan menyeluruh. Tanda-tanda pada stadium II lebih menonjol daripada stadium I dan mudah diketahui. Terjadi perubahan perilaku yang tidak semestinya, dan pengendalian sfingter tidak dapat terus dipertahankan. Kedutan otot generalisata dan asteriksis merupakan temuan khas. Asteriksis (atau flapping tremor) dapat dicetuskan bila penderita disuruh mengangkat kedua lengannya dengan lengan atas difiksasi, pergelangan tangan hiperekstensi, dan jari-jari terpisah. Perasat ini menyebabkan gerakan fleksi dan ekstensi involuntary cepat dari pergelangan dan sendi metakarpofalang. Asteriksis merupakan suatu manifestasi perifer gangguan metabolism otak. Keadaan semacam ini dapat juga timbul pada sindrom uremia. Pada tahap ini, letargi serta perubahan sifat dan kepribadian menjadi lebih jelas terllihat.
Apraksia konstitusional adalah gambaran lain yang mencolok dari ensefalopati hepatic. Penderita tidak dapat menulis atau menggambar dengan baik seperti menggambar binatang atau rumah. Sederetan tulisan tangan atau gambar merupakan cara yang berguna untuk menentukan perkembangan ensefalopati.
3
(Stupor)
Stupor; kesulitan untuk dibangunkan; tidur hamper sepanjang waktu; kebingungan yang nyata; bicara yang tidak sambung
Asteriksis; peningkatan reflex tendon yang dalam; rigiditas pada ekstremitas. Abnormalitas EEG tampak mencolok. penderita dapat mengalami kebingungan yang nyata dengan perubahan perilaku. Bila pada saat ini penderita hanya diberi sedative dan bukan pengobatan untuk mengatasi proses toksiknya, maka ensefalopati mungkin akan berkembang menjadi koma, dan prognosisnya fatal. Selama stadium ini, penderita dapat tidur sepanjang waktu. Elektro ensefalogram mulai berubah pada stadium II dan menjadi abnormal pada stadium III dan IV
4.
(Koma)
Komatosa; mungkin tidak bereaksi terhadap rangsangan nyeri
Asteriksis tidak terdapat; reflek tendon yang dalam tidak terdapat; flasiditas pada ekstremitas. Abnormalitas EEG tampak mencolok. Penderita masuk dalam keadaan koma yang tidak dapat dibangunkan, sehingga timbul refleks hiperaktif tanda babinsky. Pada saat ini bau apek yang manis (fetor hepatikum) dapat tercium pada napas penderita, atau bahkan waktu masuk ke dalam kamarnya. Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk, dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat somnolensia dan kekacauan. Hasil pemeriksaan laboratorium tambahan adalah kadar ammonia darah yang meningkat, dan hal ini dapat membantu mendeteksi ensefalopati.

2.6 Patofisiologi
Ensefalopati hepatik merupakan suatu bentuk intosikiasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bila terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati.
Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya ensefalopati hepatik tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati.
Ensefalopati hepatik pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung ammonia.
Ensefalopati hepatik tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama. Sebagian besar menunjukkan bahwa terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan toksik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier), yang memudahkan masuknya bahan-bahan toksik tersebut ke dalam susunan saraf pusat.
Secara garis besar ada dua teori yang mendasarinya yaitu Teori Amonia dan neurotransmitter palsu. Amonia merupakan zat yang sering di libatkan dalam patoganesis ensefalopati hepatik. Metabolit lain yang dapat berperan pada ensefalopati hepatic meliputi mercaptans, short chain fatty acid, neurotransmitter palsu. Kadar berlebihan dari gama amino butyric acid (GABA), yaitu suatu penghambat transmitter di sistem saraf pusat merupakan faktor penting terjadinya penurunan kesadaran yang terlihat pada ensefalopati hepatik. Kenaikan kadar GABA di sistem saraf pusat merupakan refleksi dari kegagalan hati untuk mengeluarkan GABA yang berasal dari usus.
Beberapa bahan toksik yang diduga berperan pada ensefalopati heoatik, yaitu:
a.       Ammonia
Ammonia berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung. Secara teori ammonia mengganggu faal otak karen dapat mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel.
b.      Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan)
Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap sistem saraf pusat (SSP). Metionin dalam usus mengalami metabolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi ammonia di otak, dan bersama-sama ammonia menyebabkan timbulnya koma.
c.       Gangguan keseimbangan asam amino
Asam Amino Aromatik (AAA) meningkat pada ensefalopati hepatik karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan asam amino rantai cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik.
d.      Asam lemak rantai pendek
Pada ensefalopati hepatik terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab ensefalopati hepatik.
e.       Neurotramsmitter palsu
Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA), oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu.
f.            Glukagon
Peningkatan AAA pada ensefalopati hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena hormon ini melepas asam amino aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis.
g.      Perubahan sawar darah otak
Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permeabel terhadap berbagai macam substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial seperti neurotrasmitter asli.


2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Ensefalopati Hepatik Akut
Penderita sirosis hepatik dengan kesadaran yang baik tiba-tiba mengalami penurunan kesadaran.
a.             Identifikasi faktor presipitasi
b.            Pertahankan keseimbangan kalori cairan dan elektrolit.
c.             Pengosongan usus dari bahan-bahan nitrogen dengan cara hentikan obat-obatan yang mengandung nitrogen, hentikan pendarahan dan lakukan klisma/enema tinggi.
d.            Diet tanpa (rendah protein, dan pemberian protein diberikan bertahap sesuai kondisi penderita).
e.             Sterilisasi usus dengan kanamicin oral selama 1 minggu.
f.             Stop pemberian diuretika, dan evaluasi kadar elektrolit serum.
g.            Pemberian (asam amino rantai cabang) AARC memberikan hasil yang kontroversial.
2.8.2  Ensefalopati Hepatik Kronis
Faktor endogen lebih berperan. Sebagian besar penderita adalah ensefalopati hepatik subklinis atau ensefalopati hepatik derajat 1
a.             Diit rendah protein 40-50 gram per hari.
b.            Hindari obat-obatan dengan mengandung nitrogen.
c.             Laktulosa 3 x 10-30 ml per hari, dann usahakan BAB 2x/hari.
2.8.3  Ascites
Ascites adalah adanya cairan bebas dalam rongga peritoneum.
Pada sirosis hati ascites terbentuk akibat adanya beberapa hal yaitu :
a.             Hipertensi portal
b.            Retensi natrium
c.             Vasodilatasi arteri splanknika
d.            Perubahan aliran vaskuler sistemik
e.             Peningkatan pembentukan cairan limfe hepatic dan splanknika
f.             Hipoalbuminemia
2.9 Pengobatan
Langkah pengobatan ensefalopati hepatik dipusatkan pada mekanisme penyebabnya. Yang paling penting adalah mencari faktor pencetus, seperti pendarahan saluran cerna atau terapi diuretik yang berlebihan, dan memberikan pengobatan korektif. Pengobatan awal adalah menyingkirkan semua protein dari diet dan menghambat kerja bakteri terhadap protein usus karena pemecahan protein dalam usus adalah sumber NH3 zat nitrogen lain. Neomisin (suatu antibiotic yang tidak diabsorpsi) biasanya merupakan obat terpilih untuk penghambat bakteri usus. Dosis yang lazim diberikan adalah sekitar 4-12 g / hari untuk dewasa. Bakteri usus juga dapat diturunkan dengan penggunaan laktulosa.
Laktulosa juga menurunkan pH feses bila difermentasi menjadi asam organic oleh bakteri dalam kolon. Kadar pH yang rendah menagkap NH3 dalam kolon sebagai ion ammonium yang tidak dapat berdifusi (NH4+) yang kemudian diekskresi dalam feses. Apabila pasien baru mengalami perdarahan saluran cerna (sumber protein), selanjutnya dapat diberikan magnesium sulfat atau enema untuk membersihkan usus. Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit penting dilakukan, terutama hipokalemia, yang mencetuskan ensefalopati. Pemberian obat sedative, tranquilizer, dan diuretic dihindari, dan penggunaan diuretic diminimalkan, terutama diuretic yang menurunkan kalium. Makanan yang diberikan dalam bentuk jus buah manis atau glukosa IV. Tindakan ini biasanya berhasil dilakukan bila diberikan pada awal perjalanan prakoma dan bila kerusakan hati tidak begitu berlanjut.
Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk mencegah ensefalopati pada pasien yang memiliki pirau portakaval atau yang sembuh dari ensefalopati. Tindakan ini mencakup diet dengan protein dalam jumlah sedang dosis rumatan neomisin, tidak memberikan obat diuretic pendeplesi kalium dan yang mengandung NH3, tidak memberikan obat sedative dan narkotika, menghindari konstipasi, dan membatasi semua makanan mengandung protein bila gejala muncul kembali.
2.9.1        Mengurangi pemasukan protein (Gitlin., 1996)
a.             Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
b.            Diet rendah protein (nabati) (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/ hari).
2.9.2        Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism).
a.             Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan.
b.            Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari.
c.             Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4).
d.            Antibiotika : neomisisn 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV.
e.             Rifaximin (derifat Rimycin), dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif.
2.9.3        Obat-obatan lain
a.       Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang mengandung AARC (Comafusin hepar) atau campuran sedikit AAA dalam AARC (Aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan mengurangi konsentrasi ammonia darah..
b.      L-dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam.
c.       Hindari pemakaian sedatva atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan diimenhidrimat (Dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain : fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal.
d.      Vit K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik.
2.9.4        Obat-obatan dalam taraf eksperimental :
a.       Bromokriptin (dopamine reseptor antagonis) dalam dosis 15 mg/hari dapat memberi perbaikan klinis, psikometrik dan EEG.
b.      Antagonis benzodiaepin reseptor (Flumazenil), memberi hasil memuaskan, terutama untuk stadium I-II.
2.9.5        Pengobatan radikal
Exchange tranfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal hemoperfusion, transpalantasi hati (Gitlin., 1996).
a.       Koreksi gangguan keseimbangan cairan, elekrtrolit, asam basa.
b.      Penggulangan perdarahan saluran cerna
c.        Atasi infeksi dengan antibiotika yang tepat dalam dosis adekuat.
d.       Hentikan obat-obatan pencetus EH; obat-obatan hepatotoksik, diuretika atau yang menimbulkan konstipasi.
2.9.6        EH tipe Kronik
Prinsip-prinsip pengobatan EH tipe kronik (Blei., 1999).
a.             Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg BB terutama protein nabati.
b.            Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10 cc/hari).
c.             Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram / hari.
d.            Bila timbul aksaserbasiakut, sama seperti EH tipe akut.
e.             Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan neuromuskulernya.
f.             Pembedahan elektif : colony by pasis, transplantasi hati, khususnya untuk EH kronik stadium III-IV.


2.10          Prognosis
Perbaikan atau kesembuhan sempurna dapat terjadi bila dilakukan pengeloaan yang cepat dan tepat. Prognosis penderita ensefalopati hepatik tergantung dari :
a. Penyakit hati yang mendasarinya.
b. Faktor-faktor pencetus
c. Usia, keadaan gizi.
d. Derajat kerusakan parenkim hati.
e. Kemampuan regenerasi hati.


BAB 3
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas : meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, tanggal MRS, dll.
3.1.2 Riwayat Kesehatan
a.       Kesehatan sekarang merupakan keluahan yang dirasakan pasien saat MRS.
b.      Kesehatan sebelumnya merupakan keluhan atau suatu penyakit yang timbul sebelum gejala sekarang dating. Misalnya riwayat kontak dengan zat-zat toksik ditempat kerja atau selama melakukan aktivitas rekreasi. Pajanan dengan obat-obatan potensial bersifat hepatotoksik atau dengan obat-obat anastesi umum dicatat dan dilaporkan.
c.       Kesehatan Keluarga meliputi Status mental dikaji melalui anamnesis dan interaksi lain dengan pasien; orientasi terhadap orang, tempat dan waktu harus diperhatikan. Kemampuan pasien untuk melaksanakan pekerjaan atau kegiatan rumah tangga memberikan informasi tentang status jasmani dan rohani. Disamping itu, hubungan pasien dengan keluarga, sahabat dan teman sekerja dapat memberikan petunjuk tentang kehilangan kemampuan yang terjadi sekunder akibat penggunaan alcohol dan sirosis. Distensi abdomen serta meteorismus (kembung), perdarahan gastrointestinal, memar dan perubahan berat badan perlu diperhatikan.
3.2 Pemeriksaan Labolatorium
3.2.1 Hematologi :
a.          Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit.
b.         Jika diperlukan : Faal pembekuan darah.
c.          Biokimia darah :
d.         Uji faal hati : Transaminase, bilirubin, elektroforesis protein, kolesterol, fosfatase alkali
e.          Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BUN), kreatinin serum
f.          Kadar amonia darah.
g.         Atas indikasi : HBsAg, Anti-HCV, AFP, elektrolit, analisis gas darah
3.2.2 Urine dan tinja rutin.
3.2.3 Pemeriksaan lain (tidak rutin ) :  EEG, CT Scan dll.
3.3 Pemeriksaan Fisik
a.          Status kesehatan umum : keadaan umum lemah, tanda-tanda vital.
b.         Kepala : normo cephalic, simetris, pusing, benjolan tidak ada, rambut tumbuh merata dan tidak botak, rambut berminyak, tidak rontok.
c.          Mata: alis mata, kelopak mata normal, konjuktiva anemis (+/+), pupil isokor sclera agak ikterus (-/ -), reflek cahaya positif, tajam penglihatan menurun.
d.         Telinga : sekret, serumen, benda asing, membran timpani dalam batas normal.
e.          Hidung: deformitas, mukosa, secret, bau, obstruksi tidak ada, pernafasan cuping hidung tidak ada.
f.          Mulut dan faring : bau mulut, stomatitis (-), lidah merah merah mudah, kelainan lidah tidak ada.
g.         Leher : simetris, kaku kuduk tidak ada.
h.         Thoraks :
-             Paru: gerakan simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi intercoste (-), perkusi resonan, rhonchi -/-, wheezing -/-, vocal fremitus dalam batas normal.
-             Jantung: batas jantung normal, bunyi s1 dan s2 tunggal, gallop (-), mumur (-), capillary refill time 2 – 3 detik.
i.           Abdomen : nyeri pada kuadran kanan atas.

3.4 Analisa Data
No.
Analisa Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
1.
Ds :
Infeksi Akut
Panas
Suhu tubuh
Keluar keringat

 
Do :
  1. Takikardia, nadi > 100x/menit.
  2. RR meningkat > 24x/menit.
  3. Suhu meningkat > 37,5 oC.
  4. Kulit memerah


Hipertermi





2.
Ds :
Do :
  1. Diaphoresis
  2. Nadi meningkat > 100x/menit
  3. Perubahan nafsu makan dan makan.
Hepatitis toksik
Inflamasi pada hepar
Kapsula hati merenggang
Hepatomegali
Perasaan tidak nyaman di abdomen
 
Nyeri
3.
Ds :
Do :
  1. Bising usus hiperaktif.
  2. Tonus otot buruk.
  3. Konjungtiva anemis.
  4. Bibir kering.
Hepatomegali
Perasaan tidak nyaman di abdomen
Anoreksia
 
Gangguan Nutrisi < kebutuhan tubuh
4.
Ds :
Do :
  1. PCH
  2. Penggunaan otot bantu nafas (+).
  3. Kecepatan
    Ekspansi paru terganggu
     
    respirasi ( < 11-24x/menit )
Agen penyebab terutama hepatitis B & C
Kelainan jaringan parenkim hati
Kronis
Hypertensi portal
Asites

 
Pola nafas tidak efektif
5.
Ds :
Do :
  1. TD tidak normal.
  2. Perubahan ECG.
  3. Klien tanpak lemah.




Kerusakan sel parenkim hati
Gangguan metabolisme vitamin
Sintesis vit A,B complex, B12 melalui hati
Penurunan produksi eritrosit (sel darah merah)
Anemia
kelemahan
 
Intoleransi aktifitas
6.
Ds :
Do:
  1. Frekuensi nadi meningkat.
  2. Kelemahan.
  3. Suhu tubuh meningkat.
gangguan pembentukan empedu
lemak tidak dapat diemulsikan dan tidak dapat diserap oleh usus
peristaltik
diare
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
7.
Ds :
Do :





Gangguan metabolism protein
Asam amino relative (albumin, globulin)
Gangguan sintesis vit.K
-faktor pembekuan daerah
-Sintesis prosumber terganggu
Resiko tinggi perdarahan
8.
Ds :
Do :
  1. Gangguan pada permukaan kulit.
  2. Kerusakan pada lapisan kulit.
  3. Invasi dari struktur tubuh.


Gangguan metabolism bilirubin
Bilirubin tidak terkonjugasi
Ikterik
Penumpukan garam empedu dibawah kulit
Pruritus
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit

3.5 Diagnosa Keperawatan
3.5.1 Nyeri berhubungan dengan peradangan pada hepar.
3.5.2 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terganggunya ekspansi paru akibat asites.
3.5.3 Hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi.
3.5.4 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
3.5.5 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan peristaltik usus.
3.6 Planning
No. Dx.
Tujuan
Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
1.
Mengurangi nyeri
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama … x 24 jam, pasien tidak mengalami diaphoresis, nadi dapat kembali normal 60-100 x/menit, nafsu makan meningkat.
·      Pertahankan tirah baring ketika pasien mengalami gangguan rasa nyaman pada abdomen.
·      Berikan antipasmodik dan sedatif seperti yang diresepkan.
·      Kurangi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan.
·      Mengurangi kebutuhan metabolik dan melindungi hati.
·      Mengurangi iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan rasa nyaman pada abdomen.
·      Memberikan dasar untuk mendeteksi lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan untuk mengevaluasi intervensi.
·      Meminimalkan pembentukan asites lebih lanjut.
2.
Mengembalikan keefektifan pola nafas
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama … x 24 jam, tidak terdapat PCH, dapat melakukan pernafasan secara normal tanpa otot bantu nafas, RR kembali normal 16-24 x/menit.
Mandiri :
·      Awasi frekuensi, kedalaman, dan upaya pernafasan




·     Pertahankan kepala tempat tidur tinggi, posisi miring.



Kolaborasi :
·     Berikan tambahan O2 sesuai indikasi

·     Pernafasan dangkal cepat atau dispneu mungkin ada sehubungan dengan hipoksia dan atau akumulasi cairan dalam abdomen
·     Memudahkan pernafasan dengan menurunkan tekanan pada diafragma


·     Mungkin perlu untuk mengobati atau mencegah hipoksia. Bila pernafasan atau oksigenasi tidak adekuat, ventilasi mekanik sesuai kebutuhan.
3.
Mengembalikan suhu tubuh
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama … x 24 jam, nadi dapat kembali normal 60-100 x / menit, RR normal 16-24 x / menit, suhu tubuh kembali normal 36,5-37,5 oC, kulit kembali normal.
·   Catat suhu tubuh secara teratur.

·   Motivasi asupan cairan.



·   Lakukan kompres dingin atau kantong es untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh.


·   Berikan antibiotik seperti yang diresepkan.



·   Hindari kontak dengan infeksi.


·   Jaga agar pasien dapat beristirahat sementara suhu tubuhnya tinggi.
·      Memberikan dasar untuk deteksi hati dan evaluasi intervensi.
·      Memperbaiki kehilangan cairan akibat perspirasi serta febris dan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
·      Menurunkan panas melalui proses konduksi serta evaporasi, dan meningkatkan tingkat kenyaman pasien.
·      Meningkatkan konsentrasi antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi infeksi.
·      Meminimalkan resiko peningkatan infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik.
·      Mengurangi laju metabolik.
4.
Mengembalikan kebutuhan nutrisi
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama … x 24 jam, bising usus dapat kembali normal 5-35 x / menit, tonus otot kembali kuat, konjungtiva kembali normal, bibir tidak kering.
Mandiri :
·      Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori.

·     Dorong pasien untuk makan semua makanan / makanan tambahan.



·     Berikan makan sedikit dan sering.







Kolaborasi :
·     Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh glukosa serum, albumin, total protein, ammonia.














·     Berikan obat sesuai indikasi, contoh : tambahan vitamin, tiamin, besi, asam folat

·     Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan / defisiensi.
·     Pasien mungkin mencungkil atau hanya makan sedikit gigitan karena kehilangan minat pada makanan dan mengalami mual, kelemahan umum, malaise.
·     Buruknya toleransi terhadap makan banyak mungkin berhubungan dengan peningkatan tekanan intra abdomen / asites.

·     Glukosa menurun karena gangguan glikogenesis, penurunan simpanan glikogen, atau masukan tak adekuat . protein menurun karena gangguan metabolism, penurunan sistesis hepatic, atau kehilangan ke rongga peritoneal ( asites). Peningkatan kadar ammonia perlu pembatasan masukan protein untuk mencegah komplikasi.

·     Pasien biasanya kekurangan vitamin karena diet yang buruk sebelumnya. Juga hati yang rusak tidak dapat menyimpan vitamin A, B kompleks, D, dan K. juga dapat terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia.
5.
Mengembalikan kebutuhan cairan dalam tubuh
Setelah dilakukan tindakan perawatan selama … x 24 jam, nadi dapat kembali normal 60-100 x/menit, tidak terjadi kelemahan, suhu tubuh dapat kembali normal.
Mandiri :
·      Ukur masukan dan keluaran, catat keseimbangan positif (pemasukan > pengeluaran). Timbang berat badan tiap hari, dan catat peningkatan lebih dari 0,5 kg/hari.
·      Ukur lingkar abdomen


















·      Dorong untuk tirah baring bila ada asites.







·      Berikan perawatan mulut sering; kadang-kadang beri es batu (bila puasa)
Kolaborasi :
·      Awasi albumin serum dan elektrolit (khususnya kalium dan natrium).

















·      Batasi natrium dan cairan sesuai indikasi.











·      Berikan albumin bebas garam atau plasma ekspander sesuai indikasi.

·     Menunjukkan status volume sirkulasi, terjadinya atau perbaikan perpindahan cairan, dan respon terhadap terapi. Keseimbangan positif atau peningkatan berat badan sering menunjukkan retensi cairan lanjut. Catatan : penurunan volume sirkulasi (perpindahan cairan) dapat mempengaruhi secara langsung fungsi atau keluaran urin, mengakibatkan sindrom hepatorenal.
·     Menunjukkan akumulasi cairan (asites) diakibatkan oleh kehilangan protein plasma atau cairan ke dalam area peritoneal. Catatan : akumulasi kelebihan cairan dapat menurunkan volume sirkulasi menyebabkan deficit (tanda dehidrasi).
·     Dapat meningkatkan posisi rekumben untuk deuresis.
·     Menurunkan rasa haus.
·     Penurunan albumin serum mempengaruhi tekanan osmotic koloid plasma, mengakibatkan pembentukan edema. Penurunan aliran darah ginjal menyertai peningkatan ADH dan kadar aldosteron dan penggunaan diuretic (untuk menurunkan air total tubuh) dapat menyebabkan berbagai perpindahan atau ketidakseimbangan elektrolit.
·     Natrium mungkin dibatasi untuk meminimalkan retensi cairan dalam area ekstravaskuler. Pembatasan cairan perlu untuk memperbaiki / mencegah pengenceran hiponatremia.
·     Albumin mungkin diperlukan untuk meningkatkan tekanan osmotic koloid dalam kompartemen vaskuler (pengumpulan cairan dalam area vaskuler), sehingga meningkatkan volume sirkulasi efektif dan penurunan terjadinya asites.






BAB 4
PENUTUP

4.1     Kesimpulan
Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian.
Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis.
Ensefalopati hepatik tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama. Sebagian besar menunjukkan bahwa terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahan-bahan toksik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak (blood brain barrier), yang memudahkan masuknya bahan-bahan toksik tersebut ke dalam susunan saraf pusat.

4.2     Saran
4.2.1    Bagi Mahasiswa
Diharapkan mampu memahami tentang tentang penatalaksanaan pada pasien dengan ensefalopati hepatik dan dapat menerapkan asuhan keperawatan pada penyakit yang diderita pasien
1.2.2        Bagi Institusi
Diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang ensefalopati hepatik dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang penyakit-penyakit serta asuhan keperawatan penyakit tersebut.
1.2.3        Bagi Masyarakat
Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang ensefalopati hepatik serta bagaimana penyebaran ensefalopati hepatik untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.







DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi -3. Jakarta : EGC
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Wilkinson M, Judith. 2002. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC
Rhisa. 2011. Ensepalopati hepatik. [Internet]. Bersumber dari : http://rhizaners.blogspot.com/2011/05/proses-keperawatan-penderita sirosis.html. Diakses tanggal 12 Mei 2012, pukul 16.00 WIB.
_______. 2010. Sirosis Hepatis. Bersumber dari : http://nersc08.blogspot.com/. Diakses tanggal 12 Mei 2012, pukul 16.20 WIB.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu